Carut Marut Dunia Pendidikan

Kurikulum pendidikan Indonesia selalu mengalami revisi dan revisi. Kendati demikian masih banyak terjadi kekacauan. Paling tidak kekacauan ini dapat dilihat dari orientasi pembangunan pemerintah yang masuk dalam kurikulum. Orientasi pembangunanisme, yaitu sebuah ideologi kopian dari kapitalisme yang dihadapi negara untuk kepentingan pertumbuhan dan tidak memperhatikan masyarakat.

Bicara masalah pembangunan di indonesia, pembangunan telah diorientasikan sebagai media produksi untuk menopang industrialisasi pembangunanisme di indonesia. Dalam bahasa Wardiman (link and match). Dari asumsi itu kemudian lahir sebuah pandangan yang sangat materialistik. Keberhasilan pembangunan ditentukan dari seberapa banyak lulusan yang mampu menempati dunia kerja. Hal ini berarti pendidikan telah dicerabuti esensinya. Esensi pendidikan untuk mencerdaskan dan menciptakan manusia yang hakiki telah dieksploitasi dan direduksi habis menjadi sedemikian instant. Proses pendidikan hanya untuk mempelajari hal-hal teknis. Menyiapkan kognisi dan psikomotorik untuk siap di dunia kerja.



Apabila dibedah mengenai bahan ajar yang diajarkan di sekolah dasar tampak terlihat pendidikan selalu dimuarakan pada kepentingan negara. Masyarakat pun tanpa sadar telah menerima kognisi tersebut. Masyarakat mulai memiliki logika sama bahwa keberhasilan pembangunan ujung-ujungnya adalah kapital. Keadaan ini tidaklah masalah manakala diikuti dengan pertimbangan sisi afeksi. Namun kenyataannya sekolah sekarang ini menjadi semacam rezim pengetahuan yang sangat kaku dan mendikte perkembangan kognisi anak didik. Jadi, anak didik dipaksa seragam dalam memahami sesuatu termasuk didalamnya memahami apa itu pembangunanisme dan bagaimana berperan disana. Masyarakat yang diproses dan diproduk dari pendidikan semacam ini tanpa sengaja (karena proses ini sangat hegemoni) memilki pola pikir yang seragam dalam mempersepsi setiap persoalan. Hal ini praktis kesalahan besar karena kesergaman adalah suatu kemandulan.

Apabila mengamati proses belajar mengajar di kampus, praktis kampus tidak mencerminkan perubahan apa-apa bagi kekuasaan wacana pendidikan di Indonesia. Kampus menjadi bangunan kekuasaan yang mendominasi pemikiran. Kampus menerapkan program kuliah yang begitu ketat ditambah lagi orientasinya yang tidak berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah. Hal yang lebih parah lagi, mahasiswa belajar bukannya untuk mengukir prestasi keilmuan tetapi dijejali persoalan-persoalan yang jauh dari realita. Bukankah ini sebuah malapetaka besar tatkala mahasiswa mengaku dirinya sebagai pelaku golongan menengah intelektual di Indonesia?

Praktis di ruang kuliah mahasiswa tidak mendapatkan persoalan-persoalan riil untuk dijawab bersama. Keadaan ini bercampur dengan orientasi instant developmentalisme dimana keberhasilan kuliah ditentukan setelah lulus mahasiswa disalurkan kemana. Jadi, orientasi keilmuan dipangkas habis-habisan. Dengan kondisi semacam ini masihkah kampus memiliki orientasi keilmuan? Bukannya kampus telah melakukan rutinitas belajar dengan sistem pembelajaran yang standart dan sudah dipatenkan, tidak ada daya tawar. Mahasiswa dituntut mampu berpikir sangat instant yang kemuadian mahasiswa kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.
Mahasiswa, sebagai kelompok sosial yang teralinasi dalam lingkungannya. Lihat betapa banyak mahasiswa yang tidak berani kembali ke desa dan tidak berani menghadapi persoalan riil di masyarakat. Mungkin bisa juga dilihat dari berapa banyak pengangguran intelektual di indonesia. Kondisi yang parah ini memang kampus diciptakan untuk merepresentasi kepentingan negara dan tidak digunakan untuk merepresentasi perkembangan pengetahuan. Karena digunakan untuk merepresentasi kepentingan negara maka kekuasaan yang diadaptasi di kampus sangat mirip dengan negara. Sangat kaku dan berorientasi pada develop-develop.

Bukankah ini telah mencerabuti esensi-esensi belajar, mencerabuti esensi pengetahuan. Jika memang orientasinya link & match, maka perlu adanya semacam hubungan yang intens antara lembaga pendidikan dan industri. Kemudian muncul problem ada mata kuliah. Teori-teori yang diajarkan umumnya sudah kadaluarsa sehingga untuk bersaing di dunia kerja, mahasiswa perlu belajar lagi.

Sebenarnya esensi pendidikan itu adalah mengembangkan potensi kemanusiaan secara utuh dengan tetap memperhatikan kognisi, afeksi dan psikomotorik. Kognisi tergarap tapi tidak tuntas. Pengembangan kognisi di kampus hanya sebatas kulit dan tidak mencoba menggali persoalan yang lebih mendalam. Psikomotorik, ada pendidikan yang telah memiliki psikomotor murni tapi betapa banyak perguruan tinggi yang pengembangan psikomotornya masih lemah.

Sebenarnya pendidikan itu tidak ada hubungannya dengan ideologi developmentalisme negara. Negara juga harus tahu diri dan tidak bermain di ranah pendidikan hanya untuk kepentingan pembangunan prakondisi yang stabil. Efek pendidikan yang ruwet ini merupakan pengaruh kekuatan negara yang tidak dapat dibendung oelh kekuatan apapaun di masyarakat termasuk di dalamnya pendidikan. Agama pun habis dihadapan negara. Agama dijadikan objek kekuasaan yang hanya mengusung simbol sementara membuang rohnya. Begitu juga dalam pendidikan dimana kepentingan negara terlalu kuat. Kurikulum diciptakan sedemikian rupa untuk menciptakan keseragaman pola pikir. Kondisi ini menguntungkan negara karena semakin rendah resistensi masyarakat pada negara, negara semakin membabi buta dalam mendikte masyarakat untuk menuntaskan proyek-proyek negara termasuk developmentalisme.

(Dibajak dari Catatan Mbah Gatot – Medikom 2001)

Sumber: Elgibrany

No comments

Powered by Blogger.