Halte dan Gerimis

Kintamani, 14 Agustus 2004

Cinta ada di hati. Cinta adalah bahasa perasaan, dan suasana hati selalu berubah. Apakah kau tetap mencintaiku bila aku berubah?

Ini adalah cerita kita saat itu. Saat yang indah tentang awal-awal cinta tumbuh. Di sebuah perjalanan diantara gerimis dan dingin. Ketika aku masih bisa memeluk tubuhmu. Ketika aku masih bisa mencium keningmu.

Jalanan itu sayang. Mereka masih ingat kita pernah menapakinya berdua. Juga dengan roda dua itu. Mereka kini mungkin rindu pelukan kita. Rindu celoteh-celoteh nakal dariku, dan rindu senyum manja darimu.

“Kita kemana?” tanyamu.

“Kemana saja. Aku ingin menghabiskan waktu seharian denganmu. Apa kau mau?”

“Ya.”

“Kemanapun aku pergi?”

“Aku selalu bersamamu.”

Yah, aku yakin kau akan ikut. Sebab pagi ini begitu sendu. Aku tak ingin kesenduan ini semakin rapat tanpa pelukanmu.

**

Mendung memekat di hamparan langit Ubud. Gerimis mulai turun. Kita berhenti sejenak. Kau tanya, “Apa yang bisa kita nikmati disini?”

“Banyak. Semua tentang seni ada disini. Atau kau ingin lihat lukisan?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Kau sendiri adalah lukisan terindah yang kumiliki.”

Sayang, ingatkah roda dua itu sempat terbatuk saat mengantar kita. Aku hampir lupa mengisi bensin. Untung saja masih ada tukang bensin eceran dadakan, yang baik hati di desa itu. Yang mau menjual sebagian bensin dari motornya kepada kita.

Dan kebun jeruk itu, sayang. Buahnya yang masak telah menggodamu. Dan aku nekat mencurinya untukmu. Nyaris saja kayu pak tani itu mengenai kepalaku. Lalu buah-buahan di kebun yang lain tak kalah menariknya. Hanya saja aku kapok oleh kayu pak tani tadi. Kau hanya terbahak.

Sayang, kita sudah di kintamani. “Apa kita akan turun?” Ke tepi danau maksudku.

Kau hanya mengangguk dan tersenyum.

“Atau kita mendaki sekalian?” candaku.

“Siang-siang begini?” kau balik bertanya.

“Tak peduli siang ataupun malam.”

“Terserah kau. Aku ikut saja.”

Dan kita menuruni jalanan itu. Menikmati kelokan demi kelokan dengan pelukan hangatmu. Pelukan yang seolah tak pernah berakhir. Juga rencana pendakian itu. Walau akhirnya kita takkan pernah sekalipun mendaki berdua. Asmamu kambuh lagi. “Terlalu dingin. Kita kembali saja” pintamu. “Kita ke batu yang besar itu. Kita duduk disana. Aku ingin menikmati dingin ini dengan pelukan hangatmu.”

Di balik batu besar itu sayang, kau sandarkan diri di bahuku. Kau berbisik, “Sayang. Aku tak ingin berpisah denganmu.”

“Aku juga.”

“Aku ingin kau tetap disini menemaniku sepanjang waktu.”

“Aku tak ingin kehilanganmu.”

Gerimis itu segera berganti hujan. Di dekat terminal sana ada halte kecil untuk berteduh. Dan kita masih bisa berpelukan disana. Pelukan kita takkan tergantikan.

**

Udara dingin kian menjerat sampai tulang. Guyuran hujan semakin lebat menjelang sore. Aku masih berdiri di sampingmu. Diantara cemara dan halte yang sepi. Seperti jalanan ini. Yang juga basah. Kuyup sekujur badanku. Kau hanya menatap dari teduhan atap halte.

“Kau kedinginan sekali.”

“Kau lihat aku menggigil?”

“Berteduh dimana lagi?”

“Tanggung,” katamu. “Jalan terus saja.”

Dan kita kuyup berdua diatas roda dua. Masihkah kau ingat sayang? Betapa saat itu pelukanmu sanggup mengalahkan derasnya hujan dan dinginnya angin. Anjing-anjing itu nyaris membuat kita terperosok ke dalam parit. Pelukanmu semakin erat. Lalu derai tawa kita setelah anjing-anjing itu berhenti mengejar. Juga saat saling menertawakan karena berbicara dengan gemeretaknya gigi.

**

Hujan belum juga reda. Aku berdiri di halte ini. Ah, halte ini mengingatkan aku pada halte itu. Mengingatkan aku pada seulas senyum manis di bibirmu. Di halte ini, entah sudah berapa kali aku berdiri disini menunggumu, di waktu-waktu yang lalu. Entah sudah berapa senyum kau beri untukku.

Di halte itu sayang, ketika udara dingin kian menjerat sampai tulang. Ketika guyuran hujan semakin lebat menjelang sore. Yang menyimpan sebentuk potret kenangan tentang riuhnya cinta. Tentang hasrat dan harapan. Tapi kini hasrat dan harapan itu menjelma menjadi kesunyian yang hatinya berselubung kerinduan. Kini aku rindu hatimu.

Belum ada tanda-tanda hujan akan reda. Di halte ini kubiarkan kenangan tentangmu mengalir begitu saja. Suatu waktu kau pernah bertanya,”Kau cinta aku karena apa?”

“Aku mencintaimu sepenuh hati.”

“Apa yang membuatmu mencintaiku dengan sepenuh hati?”

“Aku cinta kau apa adanya. Tanpa syarat.”

“Seperti apa?”

“Aku mencintaimu karena sesuatu yang tak terlihat.”

Ah, seandainya kau tak pergi dengannya tentu aku masih mendengar, “Sayang, aku ingin memelukmu.” Melihat senyum manismu, melihatmu merengut manja, lalu tangan kita saling menggenggam erat.

Aku berbicara pada diri sendiri, “Cinta, ketika aku mencintai dengan sepenuh hati lalu tiba-tiba terhempas dan berkeping, kemudian apa yang tersisa? Masih adakah sisa cinta untuk yang lain? Masih mungkinkah cinta sedalam ini?”

“Cinta bukan di kepala, cinta bukan hitungan logika atau angka-angka. Jadi untuk apa menghitung-hitung cinta dan sisa cinta?”

**

Sepertinya baru kemarin kau mohon agar aku tetap disini. Tetaplah menemanimu dan jangan pernah berhenti mencintaimu. Tapi betapa ku hancur, betapa ku merasa terpedaya oleh air matamu. Setiap detik waktuku telah kuluangkan untukmu. Setiap kata dari hati mungkin tak semua terucap dari bibirku. Tapi mungkin kau bisa dengar dan pahami dari adanya aku di harimu, juga di hatimu. Mendengar keluh kesahmu, temani air matamu. Memelukmu disaat kau menjadi yang paling rapuh saat itu.

Di mulut gang itu sayang, ketika pertama kali aku antar kau pulang. Kau takut ibumu marah. “Aku turun disini saja. Ibuku pasti akan marah kalau tahu aku pulang denganmu,” begitu katamu. Meski akhirnya harus kulewati lagi mulut gang itu tanpa kamu. Karena mungkin sudah ada hati yang lain yang mengantarmu pulang. Tak hanya sampai mulut gang.

Tapi aku masih di halte ini. Tertahan derasnya hujan. Berharap ada seorang gadis yang bernasib nyaris sama sepertiku berteduh disini. Kan kusiapkan satu halte di hati untuknya. Oh tidak, sempat-sempatnya aku berpikir seperti itu. Nyatanya tak seorang gadispun berhenti untuk berteduh disini.

Cinta ada di hati. Cinta adalah bahasa perasaan, dan suasana hati selalu berubah.

***

@elgibrany

Source: Kompasiana

No comments

Powered by Blogger.