Menjelajah Nasi Jinggo Plus-plus
Nasi jinggo yang sangat populer di denpasar muncul pertama kali di tahun 1985. Di sebuah gang kecil dekat pasar Badung dan Kumbasari, di Jalan Gajah Mada, Denpasar. Sebutan nasi jinggo yang selama ini beredar bahwa berasal dari kata "cenggo", tidak sepenuhnya benar. Hal ini merujuk pada kemunculan nasi jinggo pertama kali, sekitar tahun 1985, dengan harga Rp 500,- per bungkus. Pada tahun tersebut, bisa sampai disebut nasi jinggo karena digelar mulai tengah malam, sehingga kelompok konsumennya adalah masyarakat yang bekerja di malam hari (seperti sopir-sopir angkot di pasar, dan petugas keamanan sekitar pasar), yang mereka sebut "Jinggo" atau jagoan dalam film-film koboy. Kebetulan di era itu film-film koboy begitu populer.
Beberapa tahun kemudian, seiring dinamisnya harga-harga termasuk harga kebutuhna pokok, harga nasi jinggo pun menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Di pertengahan tahun ‘90an telah ada nasi jinggo dengan harga Rp 1500,- per bungkus. Kemudian sampai di akhir tahun ‘90an atau awal-awal tahun 2000, sebutan nasi jinggo lebih populer disebabkan karena harganya yang "cenggo" (Tionghoa-Betawi), maksudnya 1500 atau nasi bungkus 1500an.
Nasi jinggo adalah nasi yang dibungkus daun pisang berisi sedikit mie, sedikit kelapa parut (Serundeng: Jawa/ Saur: Bali), sepotong tempe goreng sebesar setengah jari kelingking orang dewasa, secuil daging ayam/sapi/babi, dan sambal yang tidak sedikit yang super pedas. Nasi bungkus sebesar kepalan tangan orang dewasa ini mudah ditemui di kota Denpasar antara lain di Jl. Gajah Mada, Jl. Diponegoro, Jl. Thamrin, Jl Imam Bonjol, dan Jl Gunung Agung.
Kali ini kita akan coba menelusuri nasi jinggo dengan layanan ekstra, atau layanan plus plus. Sampel diambil di empat lokasi, yaitu di Jl Gatot Subroto (Gatsu Barat), Jl Thamrin , Jl Diponegoro, dan Jl Gunung Agung. Lokasi pertama yang kita kunjungi adalah Jl Gatot Subroto (Gatsu Barat). Kita temui dua orang wanita muda pedagang nasi jinggo. Sample pertama sebut saja Menor (21), mengaku berasal dari daerah gersang di timur Bali. Sample kedua sebut saja Bantet (22), asal dari daerah panas di utara Bali. Keduanya berdagang di dua lokasi yang berbeda di seputaran Gatsu Barat.
Menor, yang kost di daerah Ubung bersama seorang temannya mengaku telah dua tahun bekerja sebagai penjaga dagangan nasi jinggo. Semua dagangan bukan miliknya. Ada bos yang menyuplai semua. Basa-basi dilakukan sekedar menghangatkan suasana. Pemandu kami tengah serius melancarkan aksinya. Pertanyaan-pertanyaan seputar layanan plus-plus sudah disodorkan. Setelah beberapa kali negosiasi, akhirnya jadwal kencan bisa dibuat. Perlu diketahui, kami tidak berhasil menjadwalkan kencan dalam sekali pertemuan. Meski katanya (ahh..katanya) sudah punya pacar, kencan pun sukses digelar. Tapi kali ini tidak dilakukan di kostnya (mungkin takut ketahuan pacar), seperti pengalaman pemandu kami, kali ini deal kencan di sebuah penginapan di Jl Pidada, Ubung.
Sample kedua, Bantet, punya wajah cukup menarik, hobi memakai pakaian super ketat, dan belum punya pacar. Dengan yang satu ini pemandu kami cukup “dekat” sehingga memudahkan kami untuk mengatur jadwal kencan. Lebih fleksibel karena bisa short time di penginapan atau menyelinap diam-diam ke kamar kostnya.
Lokasi kedua yaitu di Jl Thamrin. Di lokasi ini kita mesti hati-hati karena tidak semua nasi jinggo punya layanan ekstra plus-plus. Hanya satu dua pemain saja yang mengisi pos plus-plus ini. Dan letaknya sebelum wisata 21 kalau datang dari barat (tidak mungkin dari timur, karena jalannya satu arah).
Lokasi ketiga, yaitu Jl Diponegoro. Seperti halnya di Jl Thamrin, di Jl Diponegoro tidak semuanya bisa “dipakai”. Berbeda seperti di Jl Gatot Subroto Barat yang hampir semuanya menyediakan extra service plus bonus, kalo mau. Dan Lokasi terakhir atau keempat adalah di Jl Gunung Agung, yang nuansanya mirip dengan kedua lokasi sebelumnya (Jl Thamrin dan Jl Diponegoro). Sebagai tambahan informasi, pengalaman pemandu kami pernah “memacari” pedagang nasi jinggo di seputaran Jl Diponegoro dan Jl Gunung Agung. Metodenya cukup sederhana, yaitu dengan melakukan pendekatan persuasif sekaligus melakoni profesi sebagai tukang ojek. Seperti halnya bartok (bubar toko), berhubung yang bubar adalah nasi jinggo, mungkin boleh disebut barnasgo (bubar nasi jinggo).
Selamat menjelajah.
(Tim Apatis 99-08. Eqk,Bkr,Ngr,Dwa)
Sumber Image: Idana , Text : Apatis
Beberapa tahun kemudian, seiring dinamisnya harga-harga termasuk harga kebutuhna pokok, harga nasi jinggo pun menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Di pertengahan tahun ‘90an telah ada nasi jinggo dengan harga Rp 1500,- per bungkus. Kemudian sampai di akhir tahun ‘90an atau awal-awal tahun 2000, sebutan nasi jinggo lebih populer disebabkan karena harganya yang "cenggo" (Tionghoa-Betawi), maksudnya 1500 atau nasi bungkus 1500an.
Nasi jinggo adalah nasi yang dibungkus daun pisang berisi sedikit mie, sedikit kelapa parut (Serundeng: Jawa/ Saur: Bali), sepotong tempe goreng sebesar setengah jari kelingking orang dewasa, secuil daging ayam/sapi/babi, dan sambal yang tidak sedikit yang super pedas. Nasi bungkus sebesar kepalan tangan orang dewasa ini mudah ditemui di kota Denpasar antara lain di Jl. Gajah Mada, Jl. Diponegoro, Jl. Thamrin, Jl Imam Bonjol, dan Jl Gunung Agung.
Kali ini kita akan coba menelusuri nasi jinggo dengan layanan ekstra, atau layanan plus plus. Sampel diambil di empat lokasi, yaitu di Jl Gatot Subroto (Gatsu Barat), Jl Thamrin , Jl Diponegoro, dan Jl Gunung Agung. Lokasi pertama yang kita kunjungi adalah Jl Gatot Subroto (Gatsu Barat). Kita temui dua orang wanita muda pedagang nasi jinggo. Sample pertama sebut saja Menor (21), mengaku berasal dari daerah gersang di timur Bali. Sample kedua sebut saja Bantet (22), asal dari daerah panas di utara Bali. Keduanya berdagang di dua lokasi yang berbeda di seputaran Gatsu Barat.
Menor, yang kost di daerah Ubung bersama seorang temannya mengaku telah dua tahun bekerja sebagai penjaga dagangan nasi jinggo. Semua dagangan bukan miliknya. Ada bos yang menyuplai semua. Basa-basi dilakukan sekedar menghangatkan suasana. Pemandu kami tengah serius melancarkan aksinya. Pertanyaan-pertanyaan seputar layanan plus-plus sudah disodorkan. Setelah beberapa kali negosiasi, akhirnya jadwal kencan bisa dibuat. Perlu diketahui, kami tidak berhasil menjadwalkan kencan dalam sekali pertemuan. Meski katanya (ahh..katanya) sudah punya pacar, kencan pun sukses digelar. Tapi kali ini tidak dilakukan di kostnya (mungkin takut ketahuan pacar), seperti pengalaman pemandu kami, kali ini deal kencan di sebuah penginapan di Jl Pidada, Ubung.
Sample kedua, Bantet, punya wajah cukup menarik, hobi memakai pakaian super ketat, dan belum punya pacar. Dengan yang satu ini pemandu kami cukup “dekat” sehingga memudahkan kami untuk mengatur jadwal kencan. Lebih fleksibel karena bisa short time di penginapan atau menyelinap diam-diam ke kamar kostnya.
Lokasi kedua yaitu di Jl Thamrin. Di lokasi ini kita mesti hati-hati karena tidak semua nasi jinggo punya layanan ekstra plus-plus. Hanya satu dua pemain saja yang mengisi pos plus-plus ini. Dan letaknya sebelum wisata 21 kalau datang dari barat (tidak mungkin dari timur, karena jalannya satu arah).
Lokasi ketiga, yaitu Jl Diponegoro. Seperti halnya di Jl Thamrin, di Jl Diponegoro tidak semuanya bisa “dipakai”. Berbeda seperti di Jl Gatot Subroto Barat yang hampir semuanya menyediakan extra service plus bonus, kalo mau. Dan Lokasi terakhir atau keempat adalah di Jl Gunung Agung, yang nuansanya mirip dengan kedua lokasi sebelumnya (Jl Thamrin dan Jl Diponegoro). Sebagai tambahan informasi, pengalaman pemandu kami pernah “memacari” pedagang nasi jinggo di seputaran Jl Diponegoro dan Jl Gunung Agung. Metodenya cukup sederhana, yaitu dengan melakukan pendekatan persuasif sekaligus melakoni profesi sebagai tukang ojek. Seperti halnya bartok (bubar toko), berhubung yang bubar adalah nasi jinggo, mungkin boleh disebut barnasgo (bubar nasi jinggo).
Selamat menjelajah.
(Tim Apatis 99-08. Eqk,Bkr,Ngr,Dwa)
Sumber Image: Idana , Text : Apatis
Post a Comment