Kafe (Remang) Masuk Desa
Image: freepik.com |
Masuknya kafe ke desa merupakan indikator bahwa bisnis ini memang menggiurkan sekaligus ancaman serius. Bagaimanapun, desa yang dianggap kental kehidupan agamanya, memegang teguh luhur budayanya dan berpedoman pada adat istiadatnya telah tercerabuti penyakit-penyakit yang merusak. Dikhawatirkan keberadaan desa bukan lagi sebagai kiblat norma-norma, keluhuran budaya serta penyeimbang kota. Desa akan terancam semakin jauh dari idealismenya.
Kafe remang yang menjanjikan hiburan-hiburan serta kenikmatan-kenikmatan, konsumennya sebagian besar didominasi oleh generasi muda kisaran 16 sampai 35 tahun. Memprihatinkan, manakala usia tersebut merupakan usia produktif manusia. Lebih lanjut, masuknya kafe ke desa harus dipahami tidak hanya sebagai bisnis yang ugal-ugalan tetapi lebih dari itu yakni pemusnahan generasi muda serta desakralisasi desa.
Kepala desa, sebagai pimpinan tertinggi di desa seharusnya menegaskan bahwa hiburan yang seperti apa yang sebaiknya ditempatkan di desa. Kepala desa dituntut mampu memperjelas batasan-batasan mana yang boleh dan mana yang tidak, tentunya sesuai warisan budaya, adat istiadat dan norma-norma yang baik. Tindakan semacam ini penting dilakukan demi menjaga keaslian budaya, adat istiadat dan norma-norma. Dengan jalan membuat peraturan-peraturan serta tindakan-tindakan tegas melalui aparat desa, memberikan sanksi-sanksi dan sebagainya.
Tindakan tersebut akan semakin efektif dengan dukungan dari pihak-pihak terkait. Tidak saja dari seorang kepala desa dan perangkatnya tetapi juga dari warga desa, generasi muda, organisai kepemudaan dan yang lain yang ingin peduli terhadap kelanggengan budaya luhur sendiri, mempunyai hak yang sama untuk sama-sama menjaga desanya, budayanya, termasuk orang-orang di dalamnya.
(Sumber: Elgibrany)
Post a Comment