Aku Seorang Apatis

Apatis…

Menjadi seorang apatis di tengah-tengah masyarakat yang setengah sadar sedang sakit, tapi takut untuk mengakuinya. Bagaimanapun, seorang yang sakit kadang tidak merasakan keluhan-keluhan, takut untuk merasa tidak mampu, takut untuk berharap sehat kembali, dan beberapa ketakutan yang sengaja diciptakan sendiri.

Negatif, ya, bisa jadi apatis merupakan penciptaan negatif dari perilaku kita sendiri. Terhadap keadaan sekeliling, terhadap segala rasa, segala interaksi dalam masyarakat, dan banyak hal tentang kepedulian kita, tentang sensitifitas sosial masyarakat. Menjadi cuek, tanpa rasa, beku, dan seperti mati.

Ups, tunggu dulu.. Apakah apatis sedemikian parahnya sehingga kita kemudian memiliki pandangan serupa tentang apatis? Apatis yang negatif, apatis yang tidak layak hidup di tengah masyarakat yang heterogen, kemudian menjadikan apatis termasuk manusia yang teralienasi?

Apatis, mungkin merupakan cermin sakit hati. Karena ketidak berdayaan melawan hegemoni masyarakat yang terbentuk sedeminian hebatnya. Yang memaksakan pandangan serupa tentang segala hal, yang mendogma sehingga masyarakat punya hati yang sama dan seragam, lalu kemudian menciptakan masyarakat yang mandul.

Apatis, sekali lagi merupakan cermin sakit hati. Bisa jadi merupakan teguran, atau jeweran terhadap lingkungan sekitar yang tak henti-hentinya bergulat dengan persamaan-persamaan yang tidak esensional. Memaksakan sebuah perbedaan menjadi musuh bersama, yang pada gilirannya tertuju pada keseragaman yang mandul.

Ya, masyarakat yang mandul dan tidak berkembang. Masyarakat yang kronis sehingga tidak memerlukan penyembuhan apapun selain mati. Ternyata tidak sepenuhnya salah. Hehe..

Apapun itu, sebagai seorang apatis, bergerak menurut pemikirannya sendiri, tetaplah seorang manusia yang layak untuk hidup, layak untuk mengkritik, layak untuk didengar. Lihat, berapa banyak orang yang tidak sanggup mengkoreksi diri sendiri. Berapa banyak ketimpangan di sana-sini. Berapa banyak orang yang mengaku sehat tapi sengaja menutup mata? Sengaja menutup telinga.

Mungkin, tuli hati dan buta hati menjadi permanen karena terlalu lamanya orang yang merasa sehat, tidak tersentuh oleh kritik. Lama-lama lebih apatis dari kata apatis itu sendiri.

(apatis.bag.1.Dps23/01/09)

Sumber : Apatis

No comments

Powered by Blogger.