Trip to Bangkok. The Beginning
Kurang lebih satu jam sebelum menuju Airport Ngurah Rai.
Aku memandang wajahku di dalam cermin. Ku sisir rapi rambutku meniru Leonardo di Caprio, dan menyemprotkan Axe Alaska di badanku. Ku pandang lagi sampai terlihat cukup tampil meyakinkan untuk hari ini. Aku melangkah mantap menuju Carport Toyota Avanza Silver.
Ggggrrrrrrr…Tiba-tiba suara bergemuruh, entah darimana datangnya. Berulang-ulang beberapa kali dalam hitungan detik. Bagian belakang mobilku melompat seperti katak. Aku bertanya-tanya apakah ini? Seluruh penghuni komplek berhamburan keluar rumah.
“Gempaa! Gempaa! Gempaa!” Teriak salah satu tetanggaku, pak Made, yang berbadan tambun. Lalu, “Gempa! Gempaaa!” Sahut Bu Nengah, pedagang Tipat Cantok langgananku.
Sesaat aku berlari kecil menjauhi carport menuju jalan komplek perumahan. Oh, ternyata gempa, kataku dalam hati. Beberapa menit kemudian gempa berhenti. Sesaat setelahnya, aku kembali mendekati kendaraan. Aku harus bergegas melanjutkan persiapan perjalanan dengan mengangkat barang bawaanku dan menempatkannya di bagasi mobil.
*
Ngurah Rai International Airport.
Aku bergegas menuju bagian imigrasi untuk menyelesaikan masalah administrasi, dan bersiap menuju gate yg telah ditentukan. Karena cukup lama menunggu. Ku sempatkan nongkrong di kedai kopi yg berada tidak jauh dari gate. Secangkir kopi krim hangat favoritku, dan sebatang rokok cengkeh dengan rasa mantap. Aku menikmati tiap hisapan kepulan tembakau Asli Indonesia yang dikemas secara baik oleh salah satu perusahaan racun di Indonesia. Online lagi dengan BB, update status FB, Twitter dan BBM ditemani beberapa teman yang ikut nimbrung, saling bertukar komentar, tawa canda, tapi tidak bertukar celana dalam. Upss.
Gate dibuka dan kami dipersilahkan masuk menuju pesawat. Gempa kembali mengguncang Bali saat aku berada di dalam pesawat.
Saat itu, batin ini tertegun dengan rasa was-was, tak henti-hentinya. Aku meninggalkan anak istri, dan keluarga dalam perjalanan yang cukup jauh. Di saat yang sama, gempa mungkin mengintai mereka, sedang aku pergi begitu saja. Laki-laki macam apa aku ini, gumamku. Dan aku berharap semoga sama-sama diberi keselamatan dari Yang Maha Kuasa.
*
Take Off pukul 16.15 Wita dari Ngurah Rai International Airport, Bali, menuju SuvarnaBhumi International Airport, Bangkok - Thailand.
Empat jam penerbangan yang bagiku cukup melelahkan. Ku lihat jam dinding di salah satu sudut Bandara menunjukkan pukul 21:20. Agen perjalanan telah berada disana untuk menjemput kami, dengan senyum sumringah khas Thailand. Beberapa saat setelah basa-basi singkat ala Tarzan, penjemput membawa kami menuju Restoran Seafood ternama di kota Bangkok.
Demonstrasi besar-besaran oleh cacing-cacing dalam perut kian tak terbendung. Pemandangan yang indah di hamparan meja makan semakin menggoda. Mencegah terjadinya ngiler berkelanjutan, aku terpaksa menelan ludah. Glek. Tanpa ba-bi-bu, aku dan rombongan, menyergap berbagai menu yang tumpah ruah di meja makan.
Namun susah untuk menerima kenyataan. Sajian makanan yg begitu sedap di mata ternyata hanya fatamorgana. Entah aku yang terlalu ndeso atau memang makanannya kelewat kota.Tapi inilah yang terjadi. Yang jelas aku lupa men-setting lidahku dengan lidah Thailand. Ya, mungkin inilah tradisi kuliner citarasa lidah orang Thailand, yang menurutku rasa makanannya aneh bin ajaib. Seperti rempah-rempah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Bahkan menurutku lagi, seorang Bondan Winarno pun harus melukis dengan kuas. Mak nyuss.
Apa daya, lapar kian menggila. Terpaksa disantap dibawah tekanan. Ya, tekanan rasa lapar. Makanan pun habis dalam sekejap.
*
Usai makan malam yang singkat dan lahap, kami langsung digiring menuju sebuah hotel di tengah-tengah kota Bangkok. Arnoma Hotel, itulah nama hotel tempat pertama kali aku menginap selama di Bangkok. Terletak di Ratchadamri Road, Pathumwan. Big C Supermarket tepat di sampingnya, dan Central World Plaza tepat di seberang jalan. Mal platinum kira-kira sepuluh menit dengan berjalan kaki.
Kamarnya rapi dan bersih meskipun dengan perabotan lama. Televisi tua dan sedikit pilihan saluran. Hotel ini bersih dan terawat dengan baik, meskipun agak lama. Secara umum hotelnya cukup bagus, mewah dan nyaman.
Kekurangan yang ada hanya Smoking Area. Sempat complain karena aku tidak mendapat area merokok. Mengingat di bangkok sangat sulit untuk mencari tempat yang bisa dengan bebas untuk merokok. Nota Protes pun kami layangkan. We Need Smoking Area!
Dengan kerja keras dan perjuangan sampai tetes darah terakhir, akhirnya kamar Smooking Area pun aku dapatkan. Kamarnya berada di lantai 22. Oh my gosh! Highphobia sempat menggelayuti. Namun keinginan untuk merokok mengalahkannya. Dan rasa itu segera terbunuh setelah berada di teras kamar hotel yang menyajikan panaroma malam kota Bangkok yg memukau.
Di teras kamar, kepulan asap Gudang Garam Filter International mewarnai langit kota Bangkok.
Di bawah sana, lampu-lampu jalan berbaris rapi berpadu kemerlip sinar kendaraan yang melintas silih berganti. Dari tiap sudut gedung-gedung pencakar langit, tower-tower tinggi, bergantian menyala, kemudian meredup di sudut yang lain. Gradasi gelap dan terang menjadi harmoni, menyisir satu persatu kerlip sampai pandangan terlempar jauh di ujung sana. Aku larut dalam khayalanku. Hingga larut.
Dan kantuk kian membubung malam yang semakin larut. Aku beranjak ke peraduan mempersiapkan stamina untuk tour program esok hari.
Have a nice wet dream..
Post a Comment