Cincin
(image/elgibrany) |
“Satu untuk aku, satu lagi buat kamu,” katamu, waktu itu.
Lewat tengah malam, gerimis telah reda. Jam digital di meja kamar menunjukkan pukul 23:32. Buku-buku bertumpuk, lembaran kertas berserakan bercampur majalah dan kliping-kliping artikel dari koran. Sebungkus Gudang Garam Filter dan secangkir Kopi ABC di atas meja. Aku mencari-cari ballpoint untuk menulis sesuatu.
Tas pinggang kecil, kamera pocket, stavolt merah, dan rak buku. Satu persatu ku lihat untuk mengingat dimana ku letakkan ballpoint yang satu itu. Lagu Pegasus Fantasi OSTnya Saint Seiya lagi-lagi ku dengar. Untuk sesaat, masa kecilku melintas di pikiranku.
Ku ulangi lagi mencari, menyapu bersih pandangan di tiap sudut kamar. Di atas meja, rak buku, lemari baju, CPU, dan tempat tidur. Hasilnya nihil.
Aku berbaring diatas tempat tidurku. Ku lihat buku catatan ada di kolong meja CPU. Segera kuambil. Catatan lama, berisi nama-nama perusahaan saat aku bekerja di perusahaan periklanan.
Saat aku membolak-balikkan buku catatan itu, aku terjebak untuk mengalihkan pandangan pada benda berbentuk lingkaran di bawah tadi. Persis dibawah buku catatan yang ku pegang. Sebuah cincin.
Cincin perak bermata kristal.
Setahun sudah cincin ini tak ku pakai. Tidak juga ku bawa dalam dompet. Aku mencarinya lebih karena ingin kusimpan. Bukan untuk mengenang. Tapi cincin ini ku temukan. Mungkin aku akan memakainya lagi. Walaupun dia yang disana tidak lagi peduli dengan pasangan cincin ini.
Ada bahagia ketika ku temukan cincin ini. Begitu sentimentil. Mampu melesakkan aku pada rindu yang kian terbang jauh ke langit. Juga pada satu kota, 680 kilometer dari kota tempat tinggalku sekarang.
Ya, juga kenangan tentang kamu. Bagaimana cincin ini bisa, lagi-lagi, menusuk-nusuk batinku. Tentang cinta yang hilang. Harapan-harapan yang pudar. Senyummu, dan tentang aku rindu hatimu.
Cincin perak bermata kristal.
Itu setahun yang lalu. Yang terakhir kupakai dengan begitu bahagia sepanjang perjalanan dari kotaku ke kotamu. Yang terakhir kupakai dengan begitu sakit dan perih sepanjang perjalanan dari kotamu ke kotamu. Pada Desember 2010.
Aku pulang dengan lagu “Dear God”nya Avenged Sevenfolds.
Aku larut dalam kesedihan yang dalam.
**
DPS/131211. 02:37Wita
@elgibrany
Source: Kompasiana
Post a Comment